Mengenai Saya

Foto saya
Saya, adalah seorang hamba yang akan terus bergerak maju tanpa pernah bosan untuk memperbaiki diri, hingga satu saat Dia memanggilku pulang......

Jumat, 13 Januari 2012

Rezeki itu sudah diatur ALLAH

"Dan tidak ada sesuatu yang melata di bumi melainkan Allah memberi rezekinya dan Dia mengethaui tempat kediamannya dan tempat menyimpannya. Semuanya ditetapkan dalam kita yang nyata" al Hud : 6 Dari cuplikan ayat ini bisa kita mengambil banyak pelajaran, yang perlu kita renungi kembali dari gambaran hal itu. Rezeki yang telah diberikan kepada seorang hamba sudahlah tertulis dari sejak lahir hingga ia menemui Rabb Nya. Ketika lahir semua ketentuannya sudah ditulis oleh para malaikat tentang seorang hamba. Baik dari rezeki, ajal dan perbuatannya baik atau buruk.

Rezeki adalah sebuah kenikmatan yang Allah berikan kepada hambanya dan tidak akan terputus selama jiwa di kandung badan. Karena memang sudah tertulis pada catatan Ilahi, dan orang lain tidak akan merebutnya. Demikian yang dikatakan oleh Hasan Basri "anna rezekii la ya'hud ghairi". (bahwa rezeki saya tidak akan mungkin direbut oleh orang lain). Namun terkadang ke terbatasan ilmu dan pemahaman dimiliki oleh sang hamba tentang hakekat ini, membuatnya gelap mata dalam memandang persolanan tersebut.

Ketakutan akan rezekinya diambil orang, sehingga dia bekerja dan mencari rezeki tidak mau mengenali lagi etika yang telah disyariatkan dalam islam. Main serobot tanpa melihat rambu-rambu yang telah dipasang, padahal itu merupakan pedoman baginya untuk berinteraksi dalam mencari sebuah penyambung kehidupan. Bukan berarti, dituntut untuk duduk berpangku tangan, diam dan tanpa usaha. Lantas akan datang menghampiri kita. Itu pun sebuah prinsip kurang benar.

Islam mengajarkan doa, bagaimana agar Allah selalu menjaga rezeki kita dari barang haram. Doa itu sering kita dengar dan kerap di lantunkan. "Allahuma ar zukna rizkon halalan thayiban mubarakan mina syamai war ardhi" (Ya Allah berikan rezeki kepada kami sebuah rezeki yang penuh barakah dari langit dan bumi). Allah maha kuasa dan maha pemberi, pasti akan memberikan rezeki setiap hambanya dimanapun berada.

Walaupun dia hidup ditempat terkecil, ditempat yang tidak didatangi oleh seorangpun, pasti Allah akan memberikan rezekinya. Karena memang sudah menjadikan janji Allah bagi semua manusia akan diberikan haknya. Masya Allah bukankah sebuah kenikmatan besar sekali bagi hamba dimuka bumi. Dan merupakan sebuah penghargaan bersar kepada hamba, patut disyukuri sedalam-dalamnya. Kalaulah sang hamba tidak mensyukurinya, maka sebuah kerugian besar akan menimpa dirinya.

Allah tidak akan rugi dengan ketidak bersyukurnya seorang hamba, dan tidak akan mempengaruhi akan kebesaran dan kekuasaannya. Bagaikan setitik air jatuh ke lautan. Sejenak kita melihat sebuah kisah seorang shaleh di Damascus mengenai janji Allah tersebut. Seorang shaleh ini adalah pembelah batu. merupakan kerjaan beliau tiap harinya. Suatu ketika beliau membelah batu, ada sebuah keajaiban yang ia temui didalamnya. Terlihat didalam batu itu ada dua buah tumbuhan warna hijau tumbuh didalamnya. Segar bugar dan tampak tidak layu.

Dari sini beliau berpikir, bagaimana dia bisa mendapatkan makanan, dari mana sinar matahari masuk dsb. Maka setelah melihat ayat (tanda kebesaran Allah) sehingga beliau bertaubat. Coba bayangkan sejenak, didalam sebuah batu, tumbuh dua buah tumbuhan didalamnya dengan segar bugar sebagaimana tumbuhan lainya. bukankah merupakan sebuah ayat Allah dan janji kebenaran Allah, rezeki itu akan diberikan kepada siapa saja dan dimana saja.

Juga sebuah peristiwa di zaman imam Auzai', beliau beritikaf selama sepuluh tahun. Pas ketika suatu hari beliau keluar dari tempat i'tikafnya. Kemudian beliau di tanya oleh seseorang " Ya imam bagaimana engkau mendapat bahan makanan selamat 10 tahun itu" dijawab oleh imam : "Man syakka fi rizkii syaka fii kholki" (barang sapa yang ragu mengenai rezeki maka dia ragu akan pencipta).

Ketakutan kita terhadap rezeki keturunan pun menghinggapi diri, bahkan seakan enggan untuk menambah keturunan. Orang berpikir, nanti kalau saya punya banyak anak, lantas siapa yang mau biayain hidupnya. Sedangkan sekarang saja memberikan makan kepada keluarga, nafasnya senen kamis. Bukankah banyak anak itu malah membuat pekerjaan keluarga, menambah beban hidup dan hitungan dalam biaya keseharian.

Waduh repot deh kalau harus nambah anak lagi, dua saja sudah repot ngurus dan biayainnya, apa lagi kalau nambah. Tidak deh, cukup dua saja.Padahal kita tidak usah memikirkan masalah rezeki si anak, Allah sudah mengatur rezeki masing-masing dari mulai kehadiran pertama di dunia hingga menemuiNya. Bukankah banyak anak akan bertambah rezekinya. Sepertinya ada baiknya juga pepetah orang dahulu mengatakan hal itu.

Coba kita merenung sejenak, jika dalam satu keluarga berjumlah lima orang dibandingkan dengan tujuh orang, akan lebih banyak yang berjumlah tujuh. Karena setiap orang masing-masing mempunyai jatah. Dan setiap orang berbeda takarannya, itulah keterbatasan sang hamba yang tidak diketahui untuk menggapai sesuatu yang ghaib.Kata "imlaq" dalam Al Qur'an merupakan sebuah gambaran ke faqiran (miskin) yang sangat di takuti oleh orang.

Menurut Ibnu Abbas dan Qatadah arti imlaq adalah fakir atau janganlah membunuh mereka (anak-anakmu) akibat dari kefakiran yang kamu alami. Padahal sambungan ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya Allah yang akan memberikan rezeki mereka. Dan hanya Allah maha tahu dan pemberi terhadap setiap hambanya. Sekarang timbul permasalah kepermukan mengenai rezeki itu, seakan sebuah momok dalam permasalahan kehidupan dan menjadi pikiran siang malam. Sehingga memusingkan kepala sampai tidak bisa tidur, kurus kerontang dan nafsu makan berkurang.

Wahai hamba Allah yang dikasihi, percayalah bahwa rezeki itu tidak akan habis, baik untuk individu, keluarga, masyarakat dan bangsa. Malaikat bertugas pembawa rezeki setiap hari akan datang kepada kita untuk memberikan hak tersebut. Hingga pada suatu saat malaikat tersebut tidak lagi menemukan rezeki sang hamba baik itu di timur mau pun di barat, maka saat itulah merupakan detik-detik terakhir sang hamba hidup didalam dunia, tidak lama lagi ia akan menemui Ilahi Rabbi. Jadi di sinilah batas akhir pemberian rezeki oleh Allah kepada seorang hamba, hingga detik-detik perpisahan jiwa dari bumi menuju alam selanjutnya.



SUMBER : http://sabiluna.tripod.com/rezeki.htm

Rabu, 11 Januari 2012

Menjadi Pribadi yang bermanfaat....

Nanti Saya Akan Sedekah...Pak Kyai....

Malam itu di sebuah pesantren yatim-piatu Jawa Timur datanglah seorang pengusaha bersilaturahmi ke kyai pengasuh pesantren. Ada sebuah hajat milik pengusaha yang ingin dibagi dengan pak kyai. Maka, berlangsunglah pembicaraan antara keduanya.

"Pak kyai, saya datang ke sini mau minta doa agar hajat saya dikabul oleh Allah SWT." ujar si pengusaha.
"Memangnya saudara sedang punya hajat apa?" tanya pak kyai ringan.

"Begini pak kyai..., saya ini punya usaha di bidang migas. Saya sedang ikut tender di Caltex Riau (sekarang perusahaan ini bernama Chevron). Doakan agar saya bisa menang tender...!" jelas si pengusaha.

"Mmmmm...." pak kyai hanya bergumam tanpa sedikit pun memberi tanggapan.

Entah apa gerangan, mungkin untuk meyakinkan pak kyai tiba-tiba si pengusaha menambahkan, "tolong doakan saya dalam tender ini pak Kyai, insya Allah andai saya menang tender, pasti saya akan bersedekah ke pesantren ini!"
Dahi pak kyai berkernyit mendengarnya. Raut muka beliau terlihat seperti agak tersinggung dengan pernyataan si pengusaha.

Menanggapi pernyataan si pengusaha, pak Kyai yang asli Madura bertanya, "Sampeyan hapal surat Al-Fatihah...?!" Si pengusaha menjawab bahwa ia hapal.

"Tolong bacakan surat Al-Fatihah itu!" pinta kyai.

"Memangnya ada apa pak kyai, kok tiba-tiba ingin mendengar saya baca Al-Fatihah?!" tanya si pengusaha."
"Sudah baca saja... saya mau dengar!" tukas kyai.

Maka sang pengusaha itu pun mulai membaca surat pertama Alquran.

"Bismillahirrahmanirrahim...Alhamdulillahi rabbil alamiin...Ar rahmaanir rahiim... Maliki yaumiddiin... Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin..."

"Sudah-sudah cukup..., Berhenti sampai di situ!" pinta pak kyai.

Si pengusaha pun menghentikan bacaan.

"Ayat yang terakhir sampeyan baca itu mengerti tidak maksudnya?!" tanya pak kyai.

"Iyyaka na'budu wa iyyaka nasta'iin..., pak Kyai?" tanya si pengusaha menegaskan.

"Ya, yang itu!" jawab kyai.

"Oh itu saya sudah tahu artinya... kepada-Mu ya Allah kami mengabdi... kepada-Mu ya Allah kami memohon pertolongan!" tandas si pengusaha.

Pak kyai lalu berujar enteng, "Oh, rupanya masih sama Al-Fatihah sampeyan dengan saya punya!"

Si pengusaha memperlihatkan raut kebingungan di wajahnya. "Maksud pak kyai...?!" tanya si pengusaha heran.

"Saya kira Al-Fatihah sampeyan sudah terbalik menjadi iyyaka nasta'iin wa iyyaka na'budu!" jawab pak kyai.

Si pengusaha malah bertambah bingung mendengar penjelasan pak kyai, ia pun berkata, "Saya masih belum mengerti pak Kyai!"

Pak kyai tersenyum melihat kebingungan sang pengusaha, beliau pun menjelaskan, "tadi sampeyan bilang kalau menang tender maka sampeyan akan sedekah ke pesantren ini. Menurut saya itu mah iyyaka nasta'iin wa iyyaka na'budu. Kalau Al-Fatihah sampeyan gak terbalik, pasti sampeyan sedekah dulu ke pesantren ini, insya Allah pasti menang tender!"

Deggg! Keras sekali smash sindiran menghujam jantung hati si pengusaha.

***
Ba'da dzuhur esok harinya, hape pak kyai berdering. Rupanya pengusaha tadi malam.

"Mohon dicek pak kyai, saya barusan sudah transfer ke rekening pesantren," kata si pengusaha, sambil pamit lalu menutup telepon.

Sejurus kemudian pak kyai pergi ke bank membawa buku tabungan.

Usai dicetak lalu dicek, matanya terbelalak melihat angka 2 dan deretan angka 0 yang amat panjang. Hingga pak kyai merasa sulit memastikan jumlah uang yang ditransfer.

Pak kyai pun bertanya kepada teller bank, "Mbak, tolong bantu saya berapa dana yang ditransfer ke rekening saya ini?"

Sang teller menjawab, "Ini nilainya 200 juta, pak kyai!"

Pak kyai pun sumringah. Berulang kali ucapan hamdalah terdengar dari lisannya.

Malamnya lepas maghrib, pak kyai mengumpulkan seluruh ustadz dan santri di pesantren yatim itu.

Mereka membaca Alquran, dzikir & doa yang panjang untuk hajat yang ingin dicapai oleh sang pengusaha.

Arsy Allah SWT malam itu mungkin bergetar. Pintu-pintu langit mungkin terbuka, sebab doa yang dipanjatkan oleh pak kyai & para santri yatim.

Seminggu berselang sang pengusaha menelpon pak kyai.

"Pak kyai, saya ingin mengucapkan terima kasih atas doanya tempo hari. Alhamdulillah, baru saja saya mendapat kabar bahwa perusahaan saya menang tender dengan nilai proyek yang cukup besar!!!"

Mendengar itu, pak kyai turut bersyukur kepada Allah SWT. Ia lalu bertanya, "berapa nilai tender yang didapat?!"
"Alhamdulillah, nilainya Rp 9,8 milyar!" jawab si pengusaha.

Subhanallah, sebegitu cepat & besar balasan Allah yang diterima pengusaha itu.

Sumber :  http://www.alhikmahonline.com/content/view/602/6/ 

Jumat, 06 Januari 2012

Kejujuran Lopa

KOMPAS.com - Lebih kurang 28 tahun silam, tatkala mendiang Prof Dr Baharuddin Lopa masih menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan, panggung hukum Indonesia geger oleh munculnya sosok Lopa yang jujur, antikorupsi, dan nyali bak harimau. Ia tidak kenal warna abu-abu, sebab bagi dia warna itu hanya hitam dan putih. Benar atau salah.
Ia tidak kenal warna abu-abu, sebab bagi dia warna itu hanya hitam dan putih.

Ada banyak cerita tentang kejujuran mantan Jaksa Agung (2001) dan mantan Menteri Kehakiman (2001) ini. Ketika Lebaran menjelang, ia tegaskan kepada anak buahnya untuk tidak menerima parsel Lebaran. Ia menggelar jumpa pers yang di antaranya mengumumkan, seluruh aparat kejaksaan Sulawesi Selatan tidak terima hadiah dalam bentuk apa pun.
Ketika tiba di rumah, ia melihat ada dua parsel di rumahnya. ”Eh, siapa yang kirim parsel ke sini,” ucap Lopa dengan raut masam. Seisi rumah bungkam karena tahu Lopa geram. Lopa kemudian sangat terkejut ketika melihat salah satu parsel tersingkap 10 cm. ”Aduh, siapa yang membuka parsel ini?”
Seorang putrinya maju ke depan dan dengan jujur menyatakan dialah yang buka dan mengambil sebuah cokelat. ”Mohon maaf Ayah,” ujar anak perempuan itu. Lopa menghela napas, ia tidak bisa marah kepada putrinya, tetapi tidak urung ia memperingatkan untuk tidak melakukan hal itu lagi. Pria Mandar ini menyuruh putranya membeli cokelat dengan ukuran dan jenis yang sama. Cokelat itu dimasukkan ke bungkusan parsel dan segera dikembalikan kepada pengirimnya.
Suatu hari ia bercakap-cakap dengan istrinya dan mengajak istrinya menghitung tabungan mereka. ”Oh, uang itu sudah cukup untuk uang muka mobil Toyota Kijang,” ujar Lopa.
Maka datanglah ia ke distributor mobil di Makassar. Ia langsung menemui direktur utama perusahaan itu. Lopa menyampaikan keinginannya membeli mobil dengan uang muka sekian rupiah, sisanya dicicil. Sang dirut menawarkan diskon yang biasa ia berikan kepada kawan-kawannya.
Lopa terkejut ketika tahu besaran diskonnya. Sebab bagi dia, diskon lebih dari 3 persen dari harga barang sudah melampaui batas kepantasan. Saudagar tersebut menyatakan, ”Saya penjual, saya hendak beri berapa persen diskonnya, kan, terserah saya, bukankah itu wilayah saya?”
Lopa tetap menolak dan menyatakan diskon hanya 3 persen. Akhirnya, usahawan itu mengalah dan menerima keinginan Lopa. Belakangan, urusan ini membuat ia kikuk karena setiap bulan Lopa datang sendiri menyetor cicilannya. Dan penyetoran itu jauh sebelum tanggal jatuh tempo. Bukan apa-apa, Lopa adalah temannya, ia kikuk harus menerima cicilan langsung dari teman dekat selama bertahun-tahun. Akan tetapi, ia menghormati Lopa yang memegang teguh prinsip hukum yang ”serba hitam putih” itu.
Cerita tentang Lopa yang jujur menjadi semacam legenda di panggung hukum nasional. Suatu hari, ia hendak menunaikan ibadah haji. Seorang teman sekolahnya sejak SD hingga perguruan tinggi, yang sukses sebagai pengusaha, memberinya 10.000 dollar AS. Lopa terkejut dengan pemberian ini. Pada kesempatan pertama ia datang ke rumah temannya dan mengembalikan uang itu.
Lopa berkata, ”Saya tahu engkau ikhlas, akhlakmu pun terpuji. Saya tahu pula usahamu berjalan di jalur lurus. Namun, maafkan saya, saya tidak bisa menerima uang ini. Kita bersahabat saja, ya.” Pengusaha itu tidak bisa berkata apa-apa kecuali mengusap air matanya karena terharu.
Lopa mengungkapkan, seorang penegak hukum mutlak berintegritas. Ia boleh hidup ekstra sederhana, tetapi itu tidak bisa menjadi alasan menerima apa pun dari siapa pun. ”Banyak di antara masyarakat tidak menyadari, tegaknya hukum menentukan kinerja ekonomi. Sebab, munculnya supremasi hukum akan membuat pelaku bisnis tenang. Kalaupun bisnisnya ”diusik”, para pebisnis itu akan tenang karena ada hukum. Jaksa akan menjalankan tugasnya dengan baik dan hakim akan menjatuhkan vonis yang sesuai hukum dan rasa keadilan.”
Lopa benar. Lihatlah, semua negara yang ekonominya maju, praktik hukumnya pasti baik. Kita masih jauh dari pelaksanaan hukum yang ideal. Hukum masih dipermainkan kekuasaan, mafia peradilan, dan aparat yang tidak jujur.
Betapa kita tidak pening oleh demikian banyak aparat penegak hukum sendiri yang ditahan, diadili, dan kemudian dipenjarakan karena terbukti melawan hukum. Bagaimana pula negeri ini bisa dipercaya para investor dan pelaku ekonomi dalam negeri kalau demikian banyak pejabat negara menjadi terdakwa. Mereka tidak sadar, perbuatannya menahan laju pertumbuhan ekonomi. Mereka tidak paham bahwa tegaknya hukum sama dengan mulusnya perekonomian.
Sederhananya seperti ini. Apakah ada pedagang yang berani memalsukan merek kalau hukum menjadi panglima? Adakah pebisnis yang mengelak membayar pajak? Apakah ada pelaku ekonomi berani memalsukan akta tanah? (ABUN SANDA)